Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakhatuh... AHLAN WA SAHLAN,

sahabatku, mohon maaf jika ada khilaf dalam penulisan blog ini.
Home » » MEDIA DAN SEPIRING NASI

MEDIA DAN SEPIRING NASI

Written By Rudiya Oktar on Selasa, 14 Mei 2013 | 23.19





Oleh: Rudiya Oktar

Bahwa sesungguhnya salah satu perwujudan kemerdekaan Negara Republik Indonesia adalah kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana diamanatkan oleh pasal 28 Undang-undang Dasar 1945. Oleh sebab itu kemerdekaan pers wajib dihormati oleh semua pihak. Kebebasan pers di negeri ini berkembang pesat seiring bergulirnya reformasi tahun 1998. Pasca reformasi perusahaan media, baik cetak maupun elektronik tumbuh bagai cendawan di musim penghujan. Industry pers berkembang secara kuantitatif akibat kebebasan politik. Contohnya data dari Direktorat Pembinaan Pers tahun 1999 disebutkan,  jumlah surat kabar berjumlah sebanyak 90 buah sebelum reformasi menjadi 285 buah pasca reformasi. Majalah dari 100 buah menjadi 334 buah setelah reformasi. Dalam era tersebut hampir tidak pernah ada pembredelan media massa oleh pemerintah. Sebuah prestasi tersendiri bagi bangsa ini setelah lebih dari tiga dasawarsa rezim orde baru menekan kebebasan pers sedemikian rupa. 

Namun pertumbuhan media yang fantastis serta kebebasan yang ada itu mengakibatkan  persaingan ketat antar media. Banyak perusahaan yang gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan kompetitor mereka. Hal inilah yang kadang menimbulkan persaingan  tidak sehat. Termasuk dengan materi pemberitaan yang seringkali hanya mencari sensasional semata.  Efek persaingan tidak sehat dan kebebasan yang seakan tidak terkontrol kini menggelinding bak bola panas liar. Kebebasan semakin tak terkendali dan seringkali merugikan pihak lain dengan dalih kebebasan pers. Selain faktor kepentingan kapitalisme media, kini kepentingan politik pemilik media – media besar tanah air seakan membenarkan bahwa kebebasan pers semakin liar. Hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang akurat sesuai fakta, kini semakin tak terpenuhi. Masyarakat hanya disuguhi informasi - informasi sampah yang dikemas elok laksana pertunjukan panggung sandiwara di media – media negeri ini. Lihat saja kasus partai Demokrat dan kasus Lutfi Hasan Ishaaq, mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera yang di dakwa terlibat suap impor daging sapi. Media – media mainstream dengan membabi buta menyerang PKS dan partai Demokrat dengan berbagai “berita” yang menghebohkan. Kenapa kata “berita” saya beri tanda kutip? Karena saya melihat, apa yang mereka tayangkan tidak bisa lagi disebut sebagai sebuah berita, tetapi lebih sebagai penggiringan opini publik. Di lain sisi banyak kasus – kasus yang melibatkan parpol pemilik perusahaan media, seakan raib tanpa bekas. Media memang memegang peranan penting dalam komunikasi politik (framing of political massages). Proses inilah yang menyebabkan sebuah peristiwa ataupun aktor politik memiliki citra tertentu. Apalagi media dapat memilih fakta yang akan atau tidak dimasukkan ke dalam teks berita. Dalam hal ini peran redaktur sangat vital dan penting. Ironisnya, seringkali kerja redaktur media dipengaruhi oleh kepentingan politik pemilik media tempat mereka bekerja.

Lalu apakah tidak ada upaya pengontrolan oleh lembaga pers maupun lembaga penyiaran yang ada? Sebenarnya dalam kode etik jurnalistik hal – hal yang berkaitan dengan kegiatan jurnalisme sudah diatur sedemikian rupa. Misalnya, dalam bab I pasal 3 tentang KEPRIBADIAN DAN INTEGRITAS disebutkan bahwa, wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnallistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional”. Contoh lainnya, dalam bab II pasal 5 tentang CARA PEMBERITAAN DAN MENYATAKAN PENDAPAT  disebutkan, “wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan fakta dan opini sendiri. Karya jurnalistik berisi interpretasi dan opini wartawan, agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya”. 

Jika semua jurnalis mematuhi kode etik jurnalistik yang ada, saya yakin tidak akan ada “dagelan” yang tidak lucu dalam pemberitaan media massa. Tapi sekali lagi, diakui ataupun tidak, media telah terseret kedalam pusaran kepentingan politik pemiliknya. Saya yakin teman – teman  jurnalis sudah paham kode etik dan memiliki idealisme. Namun, apalah daya mereka terhadap “big bos” tempat mereka mencari sesuap nasi untuk keluarga. Sebuah pilihan sulit memang, antara idealisme dan sesuap nasi. Walaupun kita juga tidak bisa mengatakan semua jurnalis tidak memiliki idealisme. Masih banyak saudara – saudara kita yang bekerja sesuai dengan kode etik. Namun mereka banyak yang bekerja di media – media kecil yang tentu publikasinya tidak seluas media besar. Akhirnya masyarakatlah yang akan menilai kebenaran berita yang ditampilkan. Mereka berhak untuk percaya ataupun juga berhak mengambil sikap, “JANGAN PERCAYA KEPADA MEDIA”.

Share this article :

Posting Komentar

MENU LASKAR PENA SUKOWATI

KAPAL MAINAN

KAPAL MAINAN
PEMESANAN 081364021104
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Laskar Pena Sukowati - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger