Tidak Ada Orang Kaya Dalam Dunia Kesehatan
Perjalanan Panjang UU SJSN
Adanya pengeluaran yang tidak terduga 
apabila seseorang terkena penyakit, apalagi tergolong penyakit berat 
yang menuntut stabilisasi yang rutin seperti hemodialisa atau biaya 
operasi yang sangat tinggi. Hal ini berpengaruh pada penggunaan 
pendapatan seseorang dari pemenuhan kebutuhan hidup pada umumnya menjadi
 biaya perawatan dirumah sakit, obat-obatan, operasi, dan lain lain. Hal
 ini tentu menyebabkan kesukaran ekonomi bagi diri sendiri maupun 
keluarga. Sehingga munculah istilah “SADIKIN”, sakit sedikit jadi 
miskin. Dapat disimpulkan, bahwa kesehatan tidak bisa digantikan dengan 
uang, dan tidak ada orang kaya dalam menghadapi penyakit karena dalam 
sekejap kekayaan yang dimiliki seseorang dapat hilang untuk mengobati 
penyakit yang dideritanya.
Begitu pula dengan resiko kecelakaan dan
 kematian. Suatu peristiwa yang tidak kita harapkan namun mungkin saja 
terjadi kapan saja dimana kecelakaan dapat menyebabkan merosotnya 
kesehatan, kecacatan, ataupun kematian karenanya kita kehilangan 
pendapatan, baik sementara maupun permanen.
Belum lagi menyiapkan diri pada saat 
jumlah penduduk lanjut usia dimasa datang semakin bertambah. Pada tahun 
Pada 2030, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia adalah 270 juta orang.
 70 juta diantaranya diduga berumur lebih dari 60 tahun. Dapat 
disimpulkan bahwa pada tahun 2030 terdapat 25%  penduduk Indonesia 
adalah lansia. Lansia ini sendiri rentan mengalami berbagai penyakit 
degenerative yang akhirnya dapat menurunkan produktivitas dan berbagai 
dampak lainnya. Apabila tidak aday ang menjamin hal ini maka suatu saat 
hal ini mungkin dapat menjadi masalah yang besar
Seperti menemukan air di gurun, ketika 
Presiden Megawati mensahkan UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
 Nasional (SJSN) pada 19 Oktober 2004, banyak pihak berharap tudingan 
Indonesia sebagai ”negara tanpa jaminan sosial” akan segera luntur dan 
menjawab permasalahan di atas.
Munculnya UU SJSN ini juga dipicu oleh 
UUD Tahun 1945 dan perubahannya Tahun 2002 dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal
 20, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (1) 
dan ayat (2) mengamanatkan untuk mengembangkan Sistem Jaminan Sosial 
Nasional. Hingga disahkan dan diundangkan UU SJSN telah melalui proses 
yang panjang, dari tahun 2000 hingga tanggal 19 Oktober 2004.
Diawali dengan Sidang Tahunan MPR RI 
Tahun 2000, dimana Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang 
Pengembangan Konsep SJSN. Pernyataan Presiden tersebut direalisasikan 
melalui upaya penyusunan konsep tentang Undang-Undang Jaminan Sosial (UU
 JS) oleh Kantor Menko Kesra (Kep. Menko Kesra dan Taskin No. 
25KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000, tanggal 3 Agustus 2000, tentang Pembentukan
 Tim Penyempurnaan Sistem Jaminan Sosial Nasional).  Sejalan dengan 
pernyataan Presiden, DPA RI melalui Pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000,
 tanggal 11 Oktober 2000, menyatakan perlu segera dibentuk Badan 
Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat
 sejahtera.
Dalam Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI
 oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 
(Ketetapan MPR RI No. X/ MPR-RI Tahun 2001 butir 5.E.2) dihasilkan 
Putusan Pembahasan MPR RI yang menugaskan Presiden RI “Membentuk Sistem 
Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang
 lebih menyeluruh dan terpadu”.
 
Pada tahun 2001, Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretaris Wakil Presiden RI membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN - Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik SJSN (NA SJSN). Kemudian pada perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN - Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002).
 
“NA SJSN merupakan langkah awal dirintisnya penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) SJSN. Setelah mengalami perubahan dan penyempurnaan hingga 8 (delapan) kali, dihasilkan sebuah naskah terakhir NA SJSN pada tanggal 26 Januari 2004. NA SJSN selanjutnya dituangkan dalam RUU SJSN,” ujar Sulastomo, salah satu TIM Penyusun UU SJSN pada saat itu.
Pada tahun 2001, Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretaris Wakil Presiden RI membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN - Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik SJSN (NA SJSN). Kemudian pada perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN - Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002).
“NA SJSN merupakan langkah awal dirintisnya penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) SJSN. Setelah mengalami perubahan dan penyempurnaan hingga 8 (delapan) kali, dihasilkan sebuah naskah terakhir NA SJSN pada tanggal 26 Januari 2004. NA SJSN selanjutnya dituangkan dalam RUU SJSN,” ujar Sulastomo, salah satu TIM Penyusun UU SJSN pada saat itu.
Konsep pertama RUU SJSN, 9 Februari 
2003, hingga Konsep terakhir RUU SJSN, 14 Januari 2004, yang diserahkan 
oleh Tim SJSN kepada Pemerintah, telah mengalami 52 (lima puluh dua) 
kali perubahan dan penyempurnaan. Kemudian setelah dilakukan reformulasi
 beberapa pasal pada Konsep terakhir RUU SJSN tersebut, Pemerintah 
menyerahkan RUU SJSN kepada DPR RI pada tanggal 26 Januari 2004.
 
Selama pembahasan Tim Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR RI hingga diterbitkannya UU SJSN, RUU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Maka dalam perjalanannya, Konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 (lima puluh enam) kali. UU SJSN tersebut secara resmi diterbitkan menjadi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004.
 
Dengan demikian proses penyusunan UU SJSN memakan waktu 3 (tiga) tahun 7 (tujuh) bulan dan 17 (tujuh belas) hari sejak Kepseswapres No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 .
Selama pembahasan Tim Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR RI hingga diterbitkannya UU SJSN, RUU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Maka dalam perjalanannya, Konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 (lima puluh enam) kali. UU SJSN tersebut secara resmi diterbitkan menjadi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004.
Dengan demikian proses penyusunan UU SJSN memakan waktu 3 (tiga) tahun 7 (tujuh) bulan dan 17 (tujuh belas) hari sejak Kepseswapres No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 .
Lanjutan Implementasi UU SJSN hingga ke UU BPJS
Setelah resmi menjadi undang-undang, 4 
bulan berselang UU SJSN kembali terusik. Pada bulan Januari 2005, 
kebijakan ASKESKIN mengantar beberapa daerah ke MK untuk menguji UU SJSN
 terhadap UUD Negara RI Tahun 1945.  Penetapan 4 BUMN sebagai BPJS 
dipahami sebagai monopoli dan menutup kesempatan daerah untuk 
menyelenggarakan jaminan sosial. 4 bulan kemudian, pada 31 Agustus 2005,
 MK menganulir 4 ayat dalam Pasal 5 yang mengatur penetapan 4 BUMN 
tersebut dan memberi peluang bagi daerah untuk membentuk BPJS Daerah 
(BPJSD). 
Putusan MK semakin memperumit 
penyelenggaraan jaminan sosial di masa transisi. Pembangunan kelembagaan
 SJSN yang semula diatur dalam satu paket peraturan dalam UU SJSN, kini 
harus diatur dengan UU BPJS.  Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pun 
akhirnya baru terbentuk. Pemerintah secara resmi membentuk DJSN lewat 
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 110 tahun 2008 tentang pengangkatan 
anggota DJSN tertanggal 24 September 2008.
Pembahasan RUU BPJS berjalan alot. Tim 
Kerja Menko Kesra dan Tim Kerja Meneg BUMN, yang notabene keduanya 
adalah Pembantu Presiden, tidak mencapai titik temu. RUU BPJS tidak 
selesai dirumuskan hingga tenggat peralihan UU SJSN pada 19 Oktober 2009
 terlewati.  Seluruh perhatian tercurah pada RUU BPJS sehingga perintah 
dari 21 pasal yang mendelegasikan peraturan pelaksanaan terabaikan.  
Hasilnya, penyelenggaraan jaminan sosial Indonesia gagal menaati semua 
ketentuan UU SJSN yaitu 5 tahun.
Tahun berganti. DPR mengambil alih 
perancangan RUU BPJS pada tahun 2010. Perdebatan konsep BPJS kembali 
mencuat ke permukaan sejak DPR mengajukan RUU BPJS inisiatif DPR kepada 
Pemerintah pada bulan Juli 2010. Bahkan area perdebatan bertambah, 
selain bentuk badan hukum, Pemerintah dan DPR tengah berseteru 
menentukan siapa BPJS dan berapa jumlah BPJS.  Dikotomi BPJS multi dan 
BPJS tunggal tengah diperdebatkan dengan sengit.
Pro dan kontra keberadaan Badan 
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akhirnya berakhir pada 29 Oktober 
2011, ketika DPR RI sepakat dan kemudian mengesahkannya menjadi 
Undang-Undang. Setelah melalui proses panjang yang melelahkan mulai dari
 puluhan kali rapat di mana setidaknya dilakukan tak kurang dari 50 kali
 pertemuan di tingkat Pansus, Panja, hingga proses formal lainnya. 
Sementara di kalangan operator hal serupa dilakukan di lingkup empat 
BUMN penyelenggara program jaminan sosial meliputi PT Jamsostek, PT 
Taspen, Asabri, dan PT Askes.
Meski bukan sesuatu yang mudah, namun 
keberadaan BPJS mutlak ada sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 40 
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang bahkan 
semestinya telah dapat dioperasionalkan sejak 9 Oktober 2009 dua tahun 
lampau. Perjalanan tak selesai sampai disahkannya BPJS menjadi UU 
formal, jalan terjal nan berliku menanti di depan. Segudang pekerjaan 
rumah menunggu untuk diselesaikan demi terpenuhinya hak rakyat atas 
jaminan sosial. Sebuah kajian menyebutkan bahwa saat ini, berdasarkan 
data yang dihimpun oleh DPR RI dari keempat Badan Usaha Milik Negara 
(BUMN) yang berstatus badan hukumnya adalah Persero tersebut, hanya 
terdapat sekitar 50 juta orang di Indonesia ini dilayani oleh Jaminan 
Sosial yang diselenggarakan oleh 4 BUMN penyelenggara jaminan sosial.
Pasca Sah UU BPJS
Perubahan dari 4 PT (Persero) yang 
selama ini menyelenggarakan program jaminan sosial menjadi 2 BPJS sudah 
menjadi perintah Undang-Undang, karena itu harus dilaksanakan. Perubahan
 yang multi dimensi tersebut harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya 
agar berjalan sesuai dengan ketentuan UU BPJS.
Pasal 60 ayat (1) UU BPJS menentukan 
BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan 
kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014. Kemudian Pasal 62 ayat (1) UU 
BPJS menentukan PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS 
Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Januari 2014 BPJS Ketenagakerjaan dan 
menurut Pasal 64 UU BPJS mulai beroperasi paling lambat tanggal 1 Juli 
2015.
Pada saat mulai berlakunya UU BPJS, 
Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek 
(Persero) ditugasi oleh UU BPJS untuk menyiapkan berbagai hal yang 
diperlukan untuk berjalannya proses tranformasi atau perubahan dari 
Persero menjadi BPJS dengan status badan hukum publik. Perubahan 
tersebut mencakup struktur, mekanisme kerja dan juga kultur kelembagaan.
Mengubah struktur, mekanisme kerja dan 
kultur kelembagaan yang lama, yang sudah mengakar dan dirasakan nyaman, 
sering menjadi kendala bagi penerimaan struktur, mekanisme kerja dan 
kultur kelembagaan yang baru, meskipun hal tersebut ditentukan dalam 
Undang-Undang.
Untuk itu diperlukan komitmen yang kuat 
dari kedua BUMN ini, BUMN yang dipercaya mengemban tugas menyiapkan 
perubahan tersebut. Sebagai professional tentu mereka paham bagaimana 
caranya mengatasi berbagai persoalan yang timbul dalam proses perubahan 
tersebut, dan bagaimana harus bertindak pada waktu yang tepat untuk 
membuat perubahan berjalan tertib efektif, efisien dan lancar sesuai 
dengan rencana.
Tahun 2012 merupakan tahun untuk 
mempersiapkan perubahan yang ditentukan dalam UU BPJS. Perubahan yang 
dipersiapkan dengan cermat, fokus pada hasil dan berorientasi pada 
proses implementasi Peraturan Perundang-undangan secara taat asas dan 
didukung oleh pemangku kepentingan, akan membuat perubahan BPJS memberi 
harapan yang lebih baik untuk pemenuhan hak konstitusional setiap orang 
atas jaminan sosial.
Profil 4 BPJS
PT Askes (Persero)
“Berubah
 menjadi BPJS Kesehatan dan mulai beroperasi menyelenggarakan program 
jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014 (Pasal 60 ayat (1) UU 
BPJS)” 
PT Askes (Persero) merupakan Badan Usaha
 Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk 
menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai Negeri 
Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan
 beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya. Sejarah singkat 
penyelenggaraan program Asuransi Kesehatan sebagai berikut :
1968
Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang secara jelas mengatur pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun (PNS dan ABRI) beserta anggota keluarganya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 230 Tahun 1968. Menteri Kesehatan membentuk Badan Khusus di lingkungan Departemen Kesehatan RI yaitu Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK), dimana oleh Menteri Kesehatan RI pada waktu itu (Prof. Dr. G.A. Siwabessy) dinyatakan sebagai embrio Asuransi Kesehatan Nasional.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang secara jelas mengatur pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun (PNS dan ABRI) beserta anggota keluarganya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 230 Tahun 1968. Menteri Kesehatan membentuk Badan Khusus di lingkungan Departemen Kesehatan RI yaitu Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK), dimana oleh Menteri Kesehatan RI pada waktu itu (Prof. Dr. G.A. Siwabessy) dinyatakan sebagai embrio Asuransi Kesehatan Nasional.
1984
Untuk lebih meningkatkan program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi peserta dan agar dapat dikelola secara profesional, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1984 tentang Pemeliharaan Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun (PNS, ABRI dan Pejabat Negara) beserta anggota keluarganya. Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1984, status badan penyelenggara diubah menjadi Perusahaan Umum Husada Bhakti.
Untuk lebih meningkatkan program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi peserta dan agar dapat dikelola secara profesional, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1984 tentang Pemeliharaan Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun (PNS, ABRI dan Pejabat Negara) beserta anggota keluarganya. Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1984, status badan penyelenggara diubah menjadi Perusahaan Umum Husada Bhakti.
1991
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991, kepesertaan program jaminan pemeliharaan kesehatan yang dikelola Perum Husada Bhakti ditambah dengan Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya. Disamping itu, perusahaan diijinkan memperluas jangkauan kepesertaannya ke badan usaha dan badan lainnya sebagai peserta sukarela.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991, kepesertaan program jaminan pemeliharaan kesehatan yang dikelola Perum Husada Bhakti ditambah dengan Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya. Disamping itu, perusahaan diijinkan memperluas jangkauan kepesertaannya ke badan usaha dan badan lainnya sebagai peserta sukarela.
1992
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992 status Perum diubah menjadi Perusahaan Perseroan (PT Persero) dengan pertimbangan fleksibilitas pengelolaan keuangan, kontribusi kepada Pemerintah dapat dinegosiasi untuk kepentingan pelayanan kepada peserta dan manajemen lebih mandiri.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992 status Perum diubah menjadi Perusahaan Perseroan (PT Persero) dengan pertimbangan fleksibilitas pengelolaan keuangan, kontribusi kepada Pemerintah dapat dinegosiasi untuk kepentingan pelayanan kepada peserta dan manajemen lebih mandiri.
2005
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1241/Menkes/XI/2004 PT Askes (Persero) ditunjuk sebagai penyelenggara Program Jaminan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (PJKMM). PT Askes (Persero) mendapat penugasan untuk mengelola kepesertaan serta pelayanan kesehatan dasar dan rujukan
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1241/Menkes/XI/2004 PT Askes (Persero) ditunjuk sebagai penyelenggara Program Jaminan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (PJKMM). PT Askes (Persero) mendapat penugasan untuk mengelola kepesertaan serta pelayanan kesehatan dasar dan rujukan
2008
Pemerintah mengubah nama Program Jaminan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (PJKMM) menjadi Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). PT Askes (Persero) berdasarkan Surat Menteri Kesehatan RI Nomor 112/Menkes/II/2008 mendapat penugasan untuk melaksanakan Manajemen Kepesertaan Program Jamkesmas yang meliputi tatalaksana kepesertaan, tatalakasana pelayanan dan tatalaksana organisasi dan manajemen.
Pemerintah mengubah nama Program Jaminan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (PJKMM) menjadi Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). PT Askes (Persero) berdasarkan Surat Menteri Kesehatan RI Nomor 112/Menkes/II/2008 mendapat penugasan untuk melaksanakan Manajemen Kepesertaan Program Jamkesmas yang meliputi tatalaksana kepesertaan, tatalakasana pelayanan dan tatalaksana organisasi dan manajemen.
Sebagai tindak lanjut atas 
diberlakukannya Undang-undang Nomor 40/2004 tentang SJSN PT Askes 
(Persero) pada 6 Oktober 2008 PT Askes (Persero) mendirikan anak 
perusahan yang akan mengelola Kepesertaan Askes Komersial. Berdasarkan 
Akta Notaris Nomor 2 Tahun 2008 berdiri anak perusahaan PT Askes 
(Persero) dengan nama PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia yang dikenal 
juga dengan sebutan PT AJII
2009
Pada tanggal 20 Maret 2009 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep-38/KM.10/2009 PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia selaku anak perusahaan dari PT Askes (Persero) telah memperoleh ijin operasionalnya. Dengan dikeluarkannya ijin operasional ini maka PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia dapat mulai menyelenggarakan asuransi kesehatan bagi masyarakat.
Pada tanggal 20 Maret 2009 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep-38/KM.10/2009 PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia selaku anak perusahaan dari PT Askes (Persero) telah memperoleh ijin operasionalnya. Dengan dikeluarkannya ijin operasional ini maka PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia dapat mulai menyelenggarakan asuransi kesehatan bagi masyarakat.
2011
Terkait UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional di tahun 2011, PT Askes (Persero) resmi ditunjuk menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang meng-cover jaminan kesehatan seluruh rakyat Indonesia yang tertuang dalam UU BPJS Nomor 24 tahun 2011.
Terkait UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional di tahun 2011, PT Askes (Persero) resmi ditunjuk menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang meng-cover jaminan kesehatan seluruh rakyat Indonesia yang tertuang dalam UU BPJS Nomor 24 tahun 2011.
(sumber: www.ptaskes.com)
PT (Persero) JAMSOSTEK 
“Berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Januari 2014 (Pasal 62 ayat (1) UU BPJS)”
“BPJS
 Ketenagakerjaan paling lambat mulai beroperasi pada tanggal 1 Juli 
2015, termasuk menerima peserta baru (Pasal 62 ayat (2) huruf d UU BPJS)”
Sejarah terbentuknya PT Jamsostek 
(Persero) mengalami proses yang panjang, dimulai dari UU No.33/1947 jo 
UU No.2/1951 tentang kecelakaan kerja, Peraturan Menteri Perburuhan 
(PMP) No.48/1952 jo PMP No.8/1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha
 penyelenggaraan kesehatan buruh, PMP No.15/1957 tentang pembentukan 
Yayasan Sosial Buruh, PMP No.5/1964 tentang pembentukan Yayasan Dana 
Jaminan Sosial (YDJS), diberlakukannya UU No.14/1969 tentang Pokok-pokok
 Tenaga Kerja, secara kronologis proses lahirnya asuransi sosial tenaga 
kerja semakin transparan.
 
Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan hukum, bentuk perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun 1977 diperoleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1977 tentang pelaksanaan program asuransi sosial tenaga kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha swasta dan BUMN untuk mengikuti program ASTEK. Terbit pula PP No.34/1977 tentang pembentukan wadah penyelenggara ASTEK yaitu Perum Astek.
 
Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Dan melalui PP No.36/1995 ditetapkannya PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Program Jamsostek memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang, akibat risiko sosial.
 
Selanjutnya pada akhir tahun 2004, Pemerintah juga menerbitkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang berhubungan dengan Amandemen UUD 1945 dengan perubahan pada pasal 34 ayat 2, dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengesahkan Amandemen tersebut, yang kini berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan". Manfaat perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatan motivasi maupun produktivitas kerja.
 
Kiprah Perseroan yang mengedepankan kepentingan dan hak normative Tenaga Kerja di Indonesia terus berlanjut. Sampai saat ini, PT Jamsostek (Persero) memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya.
 
Dengan penyelenggaraan yang makin maju, program Jamsostek tidak hanya bermanfaat kepada pekerja dan pengusaha tetapi juga berperan aktif dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian bagi kesejahteraan masyarakat dan perkembangan masa depan bangsa.
Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan hukum, bentuk perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun 1977 diperoleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1977 tentang pelaksanaan program asuransi sosial tenaga kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha swasta dan BUMN untuk mengikuti program ASTEK. Terbit pula PP No.34/1977 tentang pembentukan wadah penyelenggara ASTEK yaitu Perum Astek.
Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Dan melalui PP No.36/1995 ditetapkannya PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Program Jamsostek memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang, akibat risiko sosial.
Selanjutnya pada akhir tahun 2004, Pemerintah juga menerbitkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang berhubungan dengan Amandemen UUD 1945 dengan perubahan pada pasal 34 ayat 2, dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengesahkan Amandemen tersebut, yang kini berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan". Manfaat perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatan motivasi maupun produktivitas kerja.
Kiprah Perseroan yang mengedepankan kepentingan dan hak normative Tenaga Kerja di Indonesia terus berlanjut. Sampai saat ini, PT Jamsostek (Persero) memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya.
Dengan penyelenggaraan yang makin maju, program Jamsostek tidak hanya bermanfaat kepada pekerja dan pengusaha tetapi juga berperan aktif dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian bagi kesejahteraan masyarakat dan perkembangan masa depan bangsa.
(sumber : www.jamsostek.co.id)
PT (Persero) ASABRI 
“Menyelesaikan
 pengalihan program ASABRI dan program pembayaran pensiun ke BPJS 
Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029 (Pasal 65 ayat (1) UU BPJS)”
Semula prajurit TNI, anggota Polri dan 
PNS Dephan/Polri menjadi peserta Taspen (Tabungan dan Asuransi Pegawai 
Negeri) yang didirikan pada tanggal 17 April 1963 berdasarkan Peraturan 
Pemerintah Nomor 15 Tahun 1963.
Namun dalam perjalanannya, keikutsertaan
 prajurit TNI dan anggota Polri dalam Taspen mempengaruhi 
penyelenggaraan Program Taspen karena :
- Perbedaan Batas Usia Pensiun (BUP) bagi prajurit TNI, anggota Polri yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1966 Pasal 1 dengan PNS yang berdasarkan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1969 Pasal 9
 - Sifat khas prajurit TNI dan Polri memiliki risiko tinggi banyak yang berhenti karena gugur atau tewas dalam menjalankan tugas.
 - Adanya kebijaksanaan Pemerintah untuk mengurangi jumlah prajurit secara besar-besaran dalam rangka peremajaan yang dimulai pertengahan tahun 1971.
 - Jumlah iuran yang terkumpul pada waktu itu tidak sebanding dengan perkiraan klaim yang akan diajukan oleh para Peserta. Untuk menindaklanjuti hal-hal tersebut dan meningkatkan kesejahteraan Prajurit TNI, Anggota Polri dan PNS Dephan/Polri, maka Dephankam (saat itu) berprakarsa untuk mengelola premi sendiri dengan membentuk lembaga asuransi yang lebih sesuai, yaitu Perusahaan Umum Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Perum ASABRI) yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1971 pada tanggal 1 Agustus 1971, dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hari Jadi ASABRI.
 
Dalam perkembangannya untuk meningkatkan
 gerak usaha, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1991 
bentuk usaha ASABRI dari Perusahaan Umum (Perum) dialihkan menjadi 
Perseroan Terbatas (PT), sehingga menjadi PT ASABRI (Persero).
PT ASABRI (Persero) merupakan Badan 
Usaha Milik Negara yang berbentuk Perseroan Terbatas dimana seluruh 
sahamnya dimiliki oleh negara yang diwakili oleh Menteri Negara BUMN 
selaku Pemegang Saham atau RUPS berdasarkan PP No. 64 Tahun 2001 tentang
 Pengalihan kedudukan, tugas, dan wewenang Menteri Keuangan pada 
Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan 
Jawatan (Perjan) kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara.
(sumber : www.asabri.co.id)
PT TASPEN (Persero) 
“Menyelesaikan
 pengalihan program THT dan program pembayaran pensiun ke BPJS 
Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029 (Pasal 65 ayat (1) UU BPJS)”
Pembentukan Program Tabungan Hari Tua 
Pegawai Negeri ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1963 
tentang Pembelanjaan Pegawai Negeri dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 
tahun 1963 tentang Tabungan Asuransi dan Pegawai negeri. Ketika itu PN 
Taspen memperoleh kantor sendiri di Jl. Merdeka no 64 Bandung.
 
Adapun proses pembentukan program pensiun pegawai negeri ditetapkan dengan Undang-undang No 11 tahun 1956 tentang pembelanjaan Pensiun dan Undang-undang No 11 tahun 1969 tentang pensiun pegawai dan pensiun janda/duda serta undang-undang No 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok kepegawaian.
Adapun proses pembentukan program pensiun pegawai negeri ditetapkan dengan Undang-undang No 11 tahun 1956 tentang pembelanjaan Pensiun dan Undang-undang No 11 tahun 1969 tentang pensiun pegawai dan pensiun janda/duda serta undang-undang No 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok kepegawaian.
Selanjutnya dengan adanya Peraturan 
Pemerintah Nomor 25 tahun 1981 tentang Asuransi Sosial PNS maka 
dilakukan proses penggabungan program kesejahteraan pegawai negeri yang 
terdiri dari Program Tabungan Hari Tua dan Pensiun yang dikelola PN 
Taspen.
Dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 9 tahun 1969 tentang bentuk-bentuk perusahaan negara, PN
 Taspen diubah menjadi Perum Taspen yang ditetapkan dengan Surat 
Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KEP.749/MK/V/II/1970. Selanjutnya, 
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1981, badan hukum Perum 
Taspen diubah menjadi PT Taspen (Persero) sebagaimana tertuang dalam 
Anggaran Dasar PT Taspen (Persero) Nomor 3 tahun 1982 tanggal 4 Januari 1982 yang mengalami beberapa
 kali perubahan, terakhir dengan Akta Notaris Imas Fatimah, S.H. Nomor 
53 tanggal 17 Maret 1988 dan telah diperbaiki dengan Akta Nomor 10 tahun
 1998 tanggal 2 Juli 1998 di hadapan Zulkifli Harahap, S.H., pengganti notaris Imas Fatimah, S.H.
Perubahan Anggaran Dasar dimaksud dalam 
rangka penyesuaian terhadap Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 tentang 
Perseroan Terbatas yang menetapkan tambahan modal dasar yang disetor, 
semula sebesar Rp 10 miliar ditingkatkan menjadi sebesar Rp 12,50 miliar untuk memenuhi modal disetor 25% dari modal dasar sebesar Rp 50 miliar. Perubahan terakhir ini memperoleh persetujuan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor C.2-14096-HT.01.04
 Th 98 tanggal 17 September 1998 dan telah dimuat dalam Berita Negara RI
 Nomor 31 tahun 1999, Tambahan Berita Negara RI Nomor 2207 tahun 1999, 
Tambahan Berita Negara RI Nomor 2207 tahun 1999
Berdasarkan persetujuan pemegang saham 
dengan Nomor: KEP-17/DI.MBU/2008, dilakukan perubahan anggaran dasar 
yang merupakan penyesuaian modal dasar yang disetor 25% dari modal dasar sebesar
 Rp 400 miliar. Berkas anggaran dasar telah disampaikan ke notaris dan 
telah disampaikan ke notaris dan telah dibuatkan akta notaris pada 
tanggal 24 November 2008 dengan nomor akta 06 dan saat ini masih 
menunggu persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM
(sumber : www.taspen.com)


+ komentar + 1 komentar
kredit online
Posting Komentar