Kemiskinan Oleh Eri Sudewo ( Pendiri dompet dhuafa Republika, ketua BAZNAS)
Written By Rudiya Oktar on Rabu, 05 Oktober 2011 | 08.24
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia pula yang menyempitkan (rezeki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (Kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman
(Al Quran surah 30 Ar Rum –Bangsa Romawi-- ayat 37
PELUANG dan ANCAMAN KEMISKINAN
Di banyak kesempatan, sering saya ditanya: “Apa kriteria seseorang dikatakan miskin?” Bagi anda, konyol atau keterlaluankah pertanyaan itu. Memang ada beberapa penafsiran. Pertama, pertanyaan itu memang serius. Faktanya makin hari kemiskinan bukannya berkurang malahan bertambah-tambah. Di manapun baik di kota maupun di desa-desa, mudah sekali dijumpai orang miskin. Ibaratnya di depan di belakang, di samping kanan dan kiri serta di atas dan bawah, ada orang miskin. Bahkan di kota-kota besar, di samping rumah-rumah mewah atau di perkantoran elit, orang-orang miskin membangun rumah-rumah dari kardus, seng dan triplex yang menempel kontras dengan kemewahan. Atau dalam perusahaan, bandingkan gaji tertinggi dengan terendah, bisa 50 : 1. Di kita sudah jadi kelaziman presdir dapat gaji di atas Rp 50 juta per bulan, sedang gaji office boy tak sampai Rp 1 juta per bulan. Maka sadar atau tidak, kemiskinan sesungguhnya telah terstruktur melalui kebijakan perusahaan.
Penafsiran kedua, pertanyaan itu cuma gurauan. Anda lihat, bukankah masyarakat juga sudah jenuh melihat kemiskinan yang makin meruyak di mana-mana. Bantuan sudah diberikan tapi toh kemiskinan tak juga hilang. Jadi masih pantaskah mereka dibilang miskin. Jawabnya bisa ya, bisa juga tidak. Masih pantas dikatakan miskin karena memang lapangan kerja makin langka. Saat ini memang tampaknya sulit sekali untuk bisa bekerja. Jikapun ada pekerjaan, ternyata kualifikasi yang dibutuhkan sukar dimasuki oleh angkatan kerja baru. Sementara antara lulusan sekolah dan lapangan kerja, ibarat antara deret ukur dengan deret hitung. Bahkan lulusan universitas pun ternyata belum siap pakai. Coba simak dan hitung, berapa banyak rekan-rekan sekolah dulu yang sekarang bisa anda katakan sukses.
Di sisi lain, agaknya sulit juga mereka dikatakan miskin. Sebab bisa jadi lulusan sekolah yang tak punya pekerjaan, ternyata masih mengenakan pakaian yang baik. Bahkan mungkin tetangga anda yang katanya menganggur, nyatanya masih mengendarai mobil mentereng. Mungkin karena mereka memang masih ditunjang orang tuanya. Barangkali juga mereka punya warisan, yang bunga depositonya bisa membiayai hidup sehari-hari. Ada juga yang memang pantas dikatakan miskin. Seberapapun dibantu, tetap saja kondisinya tak berubah. Bisa jadi tak berubah karena bantuan modal tak bisa mendongkrak usaha karena kondisi sulit. Atau setujukah anda, bila sikap mental seseorang juga berperan penting untuk berubah.
Umar bin Khattab ra:
Berilah pendidikan kepada anak-anakmu
karena mereka dicipta pada kondisi zaman yang berbeda dengan zamanmu
dan pada masa yang berbeda dengan masamu
Sungguh ini bukan hanya potret buram, melainkan amat berbahaya. Bagi yang masih ditunjang orang tua, mereka termasuk pengangguran semu. Seolah-olah mereka tak punya persoalan dengan kemiskinan. Namun begitu orang tua bermasalah, pensiun atau tiba-tiba meninggalkan dunia fana, kemiskinan segera menampakkan wajah aslinya untuk segera mencabik-cabik. Apakah anda juga yakin bahwa deposito merupakan cara abadi menghasilkan uang? Anda pasti setuju bahwa deposito amat tergantung pada kondisi ekonomi politik. Berapa banyak orang hancur karena nilai kurs rupiah jatuh tahun 1998. Sementara hanya berapa gelintir orang yang malah untung saat krisis moneter itu.
Dampak tabungan atau deposito:
• Hanya untuk kepentingan pribadi
• Tak terjadi redistribusi asset
• Uang hanya berputar di antara orang yang itu-itu juga
• Entrepreneurship tidak terlatih
• Sikap pasif dengan hanya menunggu bunga atau bagi hasil
• Tak paham kemana redistribusi asset
• Bank yang makin profesional dan paham ekonomi bisnis
• Namun bank juga sering terjebak pada bisnis non-riel
• Tabungan senilai 85 gram emas terkena zakat. Artinya dilarang menabung berlebih-lebihan.
Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi dan mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu”
(Al Quran surah 9 At Taubah –Pengampunan— ayat 34 – 35)
Yang jadi soal siapapun yang ditunjang orang tua dengan deposito problemnya tak beda. Keduanya mengabaikan masa-masa produktif. Saat masih muda dan enerjik, kesempatan menempa diri dalam bekerja dan mengembangkan peluang ini disia-siakan. Saat awal kerja usai sekolah, diri tak dibiasakan menerima imbalan yang hanya cukup untuk diri sendiri. Memang seringkali uang saku kuliah bulanan lebih besar ketimbang gaji awal bekerja. Namun apakah tidak ngeri, tiba-tiba kini tersadar ternyata sudah sekian tahun hidup dalam tunjangan orang tua. Bersamaan dengan bertambahnya usia, kebutuhan pun bertambah. Saat lulus kuliah dan baru lulus dulu, mungkin masih bujangan. Tapi akhirnya yang bujang pun menikah. Usai menikah, kebutuhan punya rumah sendiri masih bisa ditahan. Namun bagaimana mencegah kebutuhan anak yang mulai sekolah. Sementara kebutuhan makin besar, bekerja cari nafkah tak juga dimulai. Dalam usia yang tak lagi muda, bagaimana mungkin bisa menerima upah kecil yang harusnya diterima 10 atau 15 tahun yang lalu saat mulai bekerja.
Dalam kondisi seperti itu, pikiran pun berputar bagaimana caranya mencari uang memenuhi kebutuhan yang sudah terlanjur besar? Cara terbaik, memang dengan berbisnis. Menurut anda, usaha apa yang bisa langsung meraup untung besar? Bukankah segala usaha dimulai dari skala kecil, keuntungan kecil dan resiko juga kecil. Jika orang tua pengusaha, pendidikan terbaik adalah dengan menerjunkan anaknya berlatih di usaha itu. Anda setuju bukan. Meski awalnya dulu, ada juga yang memberontak sambil menggerutu, itu memasung kebebasan. Yang seperti ini mungkin tak paham di awal-awal dulu, orang tua sebenarnya tengah menyiapkan anak-anaknya. Tentu saja itu merupakan latihan. Bila tiba-tiba ingin punya bisnis yang langsung besar, itu namanya ingkar proses. Mereka tak sadar bahwa etos kerja harus dipupuk sejak dini. Maka sulit bukan tanpa pernah latihan, kini harus menyulap bisnis hingga sukses dalam usia yang tak lagi muda.
Kenyataannya memang usaha yang dikerjakan ternyata tak juga berkembang. Mimpi meraup laba besar tinggal mimpi. Sedang kebutuhan perut dan anak-anak tak bisa dicegah. Lalu apa yang harus diperbuat? Bukankah bom sosial mulai tersulut, yang betul-betul bakal meledak di kemudian hari. Ngeri membayangkan apa yang bakal terjadi kelak. Inilah kemiskinan semu, yang malu-malu menampakkan diri. Selalu tertutup karena tunjangan orang tua dan deposito. Namun sesungguhnya itulah bahaya laten, yang akan menghancurkan kekuatan masyarakat dan keutuhan bangsa. Awalnya mereka tak pantas dikatakan miskin. Tunjangan dan deposito mengatasi kemiskinan itu. Namun akhirnya mereka akan terlantar dan jadi miskin karena tunjangan dan deposito punya
keterbatasan.
Tabungan terbaik adalah investasi produktif.
Beberapa manfaat investasi produktif langsung:
• Berkah karena tak menahan uang tetap diam tak bergerak
• Mental entrepreneurship terus dipupuk
• Anggota keluargapun terdidik dalam mengembangkan entrepreneurship
• Terjadi redistribusi asset secara riel
• Terjadi perputaran ekonomi di sektor riel
• Tercipta lapangan kerja
Pertanyaan kriteria miskin di atas, pun bisa bersifat sinis. Inilah penafsiran ketiga. Kesinisan ini dipicu oleh tingkah laku orang-orang miskin itu sendiri. Saat pagi-pagi anda berbenah menyiapkan diri untuk kerja, si miskin juga berkemas. Saat anda berangkat ke kantor, ke parbrik, ke lapangan atau ke sawah, orang-orang miskin terjun ke jalan atau ke tempat keramaian. Saat anda mulai bekerja, orang-orang miskin malah sudah lebih gesit. Saat anda berangkat kerja, mereka telah beroperasi dengan meminta-minta. Saat anda bekerja di kantor, mereka juga tetap aktif mencari sedekahan. Saat anda istirahat makan siang di warung di balik tembok kantor, mereka juga datang meminta. Saat anda pulang kerja, mereka tetap mencegat sembari menengadahkan tangan mohon belas kasih. Saat anda rekreasi dengan keluarga, itu juga jadi kesempatan mereka untuk dapat sedekah lebih.
Rasulullah saw:
Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling minta-minta agar diberi sesuap dua suap nasi atau satu dua biji kurma,
tapi orang miskin itu ialah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan kemudian diberi sedekah,
dan mereka itu tidak pergi minta-minta kepada orang lain
(Bukhari Muslim)
Label:
NEWS
MENU LASKAR PENA SUKOWATI
- CERITA KITA (7)
- GALERY FOTO (9)
- GORESAN PENAKU (10)
- Kegiatan Kita (4)
- KISAH (4)
- KOLOM ABG (1)
- KOLOM ANIS MATTA (6)
- NEWS (34)
- posting terbaru (5)
- SAINS (1)
- SASTRA (2)
- TOKOH (20)
- TSAQOFAH ISLAMIYAH (2)
- WIRAUSAHA (6)
- ZONA MUSLIMAH (3)
Posting Komentar