Oleh: Rudiya
Oktar
Bahwa
sesungguhnya salah satu perwujudan kemerdekaan Negara Republik Indonesia adalah
kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan sebagaimana
diamanatkan oleh pasal 28 Undang-undang Dasar 1945. Oleh sebab itu kemerdekaan
pers wajib dihormati oleh semua pihak. Kebebasan pers di negeri ini berkembang
pesat seiring bergulirnya reformasi tahun 1998. Pasca reformasi perusahaan
media, baik cetak maupun elektronik tumbuh bagai cendawan di musim penghujan. Industry
pers berkembang secara kuantitatif akibat kebebasan politik. Contohnya data
dari Direktorat Pembinaan Pers tahun 1999 disebutkan, jumlah surat kabar berjumlah sebanyak 90 buah
sebelum reformasi menjadi 285 buah pasca reformasi. Majalah dari 100 buah
menjadi 334 buah setelah reformasi. Dalam era tersebut hampir tidak pernah ada
pembredelan media massa oleh pemerintah. Sebuah prestasi tersendiri bagi bangsa
ini setelah lebih dari tiga dasawarsa rezim orde baru menekan kebebasan pers
sedemikian rupa.
Namun pertumbuhan
media yang fantastis serta kebebasan yang ada itu mengakibatkan persaingan ketat antar media. Banyak
perusahaan yang gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan kompetitor
mereka. Hal inilah yang kadang menimbulkan persaingan tidak sehat. Termasuk dengan materi
pemberitaan yang seringkali hanya mencari sensasional semata. Efek persaingan tidak sehat dan kebebasan yang
seakan tidak terkontrol kini menggelinding bak bola panas liar. Kebebasan
semakin tak terkendali dan seringkali merugikan pihak lain dengan dalih
kebebasan pers. Selain faktor kepentingan kapitalisme media, kini kepentingan
politik pemilik media – media besar tanah air seakan membenarkan bahwa
kebebasan pers semakin liar. Hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
akurat sesuai fakta, kini semakin tak terpenuhi. Masyarakat hanya disuguhi
informasi - informasi sampah yang dikemas elok laksana pertunjukan panggung
sandiwara di media – media negeri ini. Lihat saja kasus partai Demokrat dan
kasus Lutfi Hasan Ishaaq, mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera yang di
dakwa terlibat suap impor daging sapi. Media – media mainstream dengan membabi
buta menyerang PKS dan partai Demokrat dengan berbagai “berita” yang
menghebohkan. Kenapa kata “berita” saya beri tanda kutip? Karena saya melihat,
apa yang mereka tayangkan tidak bisa lagi disebut sebagai sebuah berita, tetapi
lebih sebagai penggiringan opini publik. Di lain sisi banyak kasus – kasus yang
melibatkan parpol pemilik perusahaan media, seakan raib tanpa bekas. Media memang
memegang peranan penting dalam komunikasi politik (framing of political
massages). Proses inilah yang menyebabkan sebuah peristiwa ataupun aktor
politik memiliki citra tertentu. Apalagi media dapat memilih fakta yang akan
atau tidak dimasukkan ke dalam teks berita. Dalam hal ini peran redaktur sangat
vital dan penting. Ironisnya, seringkali kerja redaktur media dipengaruhi oleh
kepentingan politik pemilik media tempat mereka bekerja.
Lalu apakah
tidak ada upaya pengontrolan oleh lembaga pers maupun lembaga penyiaran yang
ada? Sebenarnya dalam kode etik jurnalistik hal – hal yang berkaitan dengan
kegiatan jurnalisme sudah diatur sedemikian rupa. Misalnya, dalam bab I pasal 3
tentang KEPRIBADIAN DAN INTEGRITAS disebutkan bahwa, “wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnallistik
(tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan memutar balikkan
fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional”. Contoh lainnya, dalam bab II pasal 5 tentang CARA
PEMBERITAAN DAN MENYATAKAN PENDAPAT
disebutkan, “wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang
dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur adukkan
fakta dan opini sendiri. Karya jurnalistik berisi interpretasi dan opini
wartawan, agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya”.
Jika semua jurnalis mematuhi kode etik jurnalistik yang ada,
saya yakin tidak akan ada “dagelan” yang tidak lucu dalam pemberitaan media
massa. Tapi sekali lagi, diakui ataupun tidak, media telah terseret kedalam
pusaran kepentingan politik pemiliknya. Saya yakin teman – teman jurnalis sudah paham kode etik dan memiliki
idealisme. Namun, apalah daya mereka terhadap “big bos” tempat mereka mencari
sesuap nasi untuk keluarga. Sebuah pilihan sulit memang, antara idealisme dan
sesuap nasi. Walaupun kita juga tidak bisa mengatakan semua jurnalis tidak
memiliki idealisme. Masih banyak saudara – saudara kita yang bekerja sesuai
dengan kode etik. Namun mereka banyak yang bekerja di media – media kecil yang
tentu publikasinya tidak seluas media besar. Akhirnya masyarakatlah yang akan
menilai kebenaran berita yang ditampilkan. Mereka berhak untuk percaya ataupun
juga berhak mengambil sikap, “JANGAN PERCAYA KEPADA MEDIA”.
Posting Komentar