Oleh Mohammad Fauzil
Adhim
Ada kabar dari Geoff Colvin, editor senior di majalah Fortune. Penulis sekaligus dosen yang
dikenal dengan tulisan-tulisan kritisnya ini menyuguhkan data mengejutkan dalam
bukunya bertajuk Talent Is Overrated (2008).
Sebagaimana tercermin dalam judulnya, buku ini menunjukkan betapa kita terlalu
berlebihan memuja-muja bakat dan kejeniusan. Padahal semua itu nyaris tak
memberi manfaat apa-apa bagi masa depan anak, baik untuk meraih sukses maupun
kebahagiaan.
Bakat dan kejeniusan bukanlah
kunci utama meraih sukses, apa pun bidang yang ia tekuni. Baik dalam dunia
olah-raga, seni, bisnis maupun intelektual, kunci paling pokok untuk meraih
sukses bukan bakat besar maupun kejeniusan. Bukan pula keterampilan melakukan
hal-hal yang dianggap luar biasa oleh orang pada umumnya. Banyak pebisnis
sukses maupun intelektual yang IQ-nya rata-rata. Bukan superior, apalagi
jenius. Bahkan ada yang IQ-nya sedikit di bawah rata-rata, tetapi ia memiliki
ketahanan mental yang luar biasa untuk belajar dan menghadapi berbagai
kesulitan, termasuk hambatan fisik. Sebagian kesulitan bisa terasa lebih ringan
karena berubahnya persepsi, tetapi hambatan fisik memerlukan ketahanan untuk
menanggung rasa sakit.
Sebagian orang sukses memang
memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Ia benar-benar memiliki
kemampuan intelektual yang bagus, bukan sekedar mampu mempertunjukkan kebolehan
yang bersifat langka. Tetapi harus dicatat bahwa mereka meraih sukses itu
melalui kerja keras yang luar biasa hebat dalam belajar. Mereka gigih belajar
dan berlatih tatkala orang lain sudah terlelap. Kisah sukses Imam Syafi’i rahimahullah misalnya, bukan terutama
soal kecerdasan, tetapi berkait erat dengan kemauan belajar yang luar biasa
sekaligus kesanggupan untuk menghadapi kesulitan. Ini menjadikan seorang Imam
Syafi’i yang ketika itu masih kanak-kanak, mampu bertahan untuk menyimak
pelajaran dari luar kelas disebabkan ia tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk
belajar di kelas sebagaimana anak-anak lain. Kisah Imam Bukhari mencari sebuah
hadis adalah contoh lain tentang betapa berharganya kesediaan untuk menderita
demi meraih apa yang diyakininya berharga. Ia rela menempuh perjalanan panjang
yang sulit hanya untuk memperoleh sebuah hadis, meskipun hadis itu akhirnya
tidak ia perhitungkan karena ternyata lemah.
Kisah Imam Bukhari tentu saja
tidak terdapat di buku Talent Is
Overrated. Saya hadirkan kisah ini karena lebih akrab dengan kita.
Selebihnya banyak kisah sejenis yang bisa kita temukan. Tetapi apa pun
kisahnya, inti pesannya adalah kejeniusan bukan segala-galanya. Jenius bukan
jaminan sukses. Apalagi bahagia.
Anda tentu masih ingat kisah
Billy Sidis yang saya sampaikan di majalah ini. Nama lengkapnya William James
Sidis, anak dari Prof. Dr. Boris Sidis, orang Yahudi yang sangat mengagumi
William James –seorang ahli psikologi. Secara intelektual, Billy luar biasa cerdas.
IQ-nya 200, jauh di atas Albert Einstein. Usia 5 tahun sudah mampu menulis
karya ilmiah –bukan cerita anak-anak—tentang anatomi. Usia 11 tahun kuliah di
Harvard University –universitas terkemuka dunia yang terkenal dengan
orang-orang cerdasnya—dan pada usia 14 tahun telah memberi kuliah di
universitas yang sama. Semua catatan ini mengukuhkan kehebatannya sebagai anak
jenius! Benar-benar jenius dan memang memiliki kemampuan intelektual luar
biasa. Bukan sekedar mampu mempertontonkan kemampuan yang dapat dengan mudah
dilatihkan kepada setiap anak dalam waktu satu dua hari.
Pertanyaannya, apakah yang dapat
diperoleh dari kejeniusannya? Sekali lagi, Billy sangat jenius. Benar-benar
anak jenius yang sempurna. Tetapi kejeniusan itu tidak memberi manfaat apa-apa
baginya. Perkembangan sosial, emosional dan komunikasinya tidak sejalan dengan
kemampuan kognitifnya. Ia mampu berpikir rumit dan memecahkan masalah-masalah
akademis, jauh melampaui anak-anak seusianya dan bahkan lebih unggul dibanding
orang-orang dewasa. Tetapi ia tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
sosialnya. Ia juga mengalami hambatan emosional. Kemampuan intelektualnya yang
luar biasa tidak mampu menolongnya untuk bisa berperilaku secara lebih dewasa
sesuai usianya. Keasyikan Billy dengan dunianya membuat ia mengalami
keterlambatan dalam perkembangan emosi dan perilaku. Inilah yang kemudian
menjadi masalah besar dalam hidupnya sehingga ia memilih untuk menarik diri
dari dunia intelektual, lalu bekerja sebagai tukang cuci piring di rumah makan
sampai akhir hayatnya.
Kasus Billy hanya salah satu
saja. Anak-anak yang memiliki kecerdasan luar biasa, atau mereka hanya
disibukkan dengan belajar secara akademik, cenderung menjadi pribadi yang tidak
matang dan rentan masalah jika mereka kurang memperoleh kesempatan berkembang
secara alamiah. Kerentanan ini akan meningkat manakala anak-anak dipacu untuk
menunjukkan prestasi yang bisa membanggakan orangtua atau melakukan sesuatu
yang bisa membangkitkan kebanggaan orang terhadapnya. Ia membuat anak sibuk
melakukan hal-hal yang tampak luar biasa, meskipun sesungguhnya tidak penting
bagi kehidupannya di masa kini maupun masa mendatang. Meskipun ia mampu
menunjukkan kemampuan-kemampuan yang jarang dimiliki orang, tetapi ini bukanlah
prestasi yang sesungguhnya (true
achievement). Mungkin ia memang mampu menunjukkan prestasi tersebut (real achievement). Hanya saja yang
diperlukan oleh seorang anak agar ia memiliki motivasi yang benar-benar kuat
adalah prestasi yang sesungguhnya (true
achievement). Begitu Janine Walker Caffrey, Ed.D., menulis dalam bukunya
yang berjudul Drive: 9 Ways to Motivate
Your Kids to Achieve (2008).
Jadi, sekedar jenius saja tidak
cukup. Apalagi jika yang terjadi sesungguhnya bukan kejeniusan, melainkan
perilaku yang mengesankan sebagai jenius (play
acting as genius). Permainan kesan ini bisa muncul dari orang-orang yang
memiliki kemampuan di atas rata-rata, bisa juga pada mereka yang biasa-biasa
saja. Tidak sedikit perilaku yang dibentuk oleh orangtua atau orang dewasa
lainnya pada anak, sehingga orang lain menganggap hebat. Sementara anak itu
sendiri boleh jadi merasa dirinya hebat, boleh jadi mempunyai waham kebesaran
(grandeur delusion) dan bisa juga anak sepenuhnya mengetahui bahwa ia tidak
sehebat yang dilihat orang.
Banyak peristiwa dalam sejarah
yang menunjukkan upaya untuk mengesankan diri atau anak sebagai jenius.
Wolfgang Amadeus Mozart pernah menyatakan bahwa ia menggubah konserto sekali
jadi. Tetapi kemudian diketahui bahwa ia bisa menyusun sebuah konserto bahkan
dalam waktu bertahun-tahun. Bukan cuma setahun. Apalagi sekali jadi. Hanya saja
ia berlatih keras dan pada waktu yang tepat ia seperti memperoleh ilham, lalu
mempertunjukkan karya “sekali jadi” yang sudah ia susun bertahun-tahun itu.
Miguel Najdorf, grand master
catur Argentina keturunan Polandia, bermain catur dengan mata tertutup (blindfolded chess) secara simultan
sebanyak 45 kali. Ia ingin menunjukkan sebagai orang jenius yang memiliki daya
ingat sempurna. Ini terjadi tahun 1947 –jauh sebelum saya lahir. Sebelum itu,
master dari Czech, Richard Réti juga melakukan permainan catur dengan mata
tertutup (blindfolded) secara simultan sebanyak 29 kali. Ia mengklaim dirinya
sebagai orang yang memiliki daya ingat sempurna. Tetapi di akhir pertandingan,
ia lupa membawa pulang kopernya.
Lebih penting dari itu semua,
mereka tidak mampu menunjukkan kejeniusan tatkala diuji secara sistematis.
Mereka mempertunjukkan kemampuan sebagai pembuktian (proofing) atas “kejeniusan” mereka. Tetapi mereka tidak mampu
memberi bukti yang dapat diuji (evidences).
Ini sama seperti anggapan bahwa
musik menjadikan anak jenius. Tak ada bukti yang secara utuh mampu menunjukkan.
Yang ada hanyalah, memperdengarkan musik saat belajar menjadikan emosi anak
aktif. Tetapi ini tidak serta-merta menjadikan anak lebih cerdas. Begitu pula
memperdengarkan musik klasik pada bayi. Menukil dari Alex Ross, Colvin menulis,
“Orangtua yang ambisius dan sekarang ini sedang mempertontonkan video “Baby
Mozart” kepada bayinya bisa kecewa tatkala mempelajari bahwa Mozart menjadi
Mozart karena kerja keras yang luar biasa.”
Posting Komentar