Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakhatuh... AHLAN WA SAHLAN,

sahabatku, mohon maaf jika ada khilaf dalam penulisan blog ini.
Home » » SEKOLAH KEHIDUPAN Oleh Anis Matta

SEKOLAH KEHIDUPAN Oleh Anis Matta

Written By Rudiya Oktar on Senin, 01 April 2013 | 23.02



Ini adalah tulisan saya sekitar
lima
tahun yang lalu
mengenai sekolah alam …. Semoga bermanfaat…

Sumber Kegembiraan

Mereka benar-benar hidup. Mereka masih terus berbincang dan bersenda gurau
dalam perjalanan pulang ke rumah. Sehari penuh di sekolah seakan tidak
melelahkan mereka. Atau mungkin - tepatnya - lelah tidak menghilangkan gairah
mereka. Itu pemandangan sehari-hari dari keempat anak-anak saya dan ketiga
temannya yang sama-sama bersekolah di Sekolah Alam. Padahal, karena jarak rumah
dan sekolah yang jauh -sekitar 40 km - mereka harus menghabiskan 10 sampai 12
jam setiap harinya untuk belajar dan perjalanan.

Sekolah telah menjadi pusat kehidupan mereka saat ini. Mereka benar-benar
menikmati pusat kehidupan itu. Bahkan waktu-waktu mereka di rumah pun digunakan
untuk membicarakan kehidupan mereka di sekolah. Sekolah bukan lagi beban.
Sekolah adalah realitas kehidupan yang mereka jalani dengan penghayatan penuh.
Sekolah adalah sumber kegembiraan. Bukan sumber stress yang biasanya
membuat mereka kehilangan gairah.

Disini kehidupan dihadirkan dalam sebuah tata ruang dengan lansekap yang ditata
sedemikian rupa agar tetap natural dan tampak riil. Dengan menggunakan konsep fun
learning
, Sekolah Alam telah mengubah sekolah menjadi sebuah miniatur
kehidupan yang bukan saja natural dan riil, tapi juga indah dan nyaman. Proses
belajar mengajar berubah menjadi aktivitas kehidupan riil yang dihayati dengan
penuh kegembiraan. Itu membantu anak-anak menikmati masa-masa awal pertumbuhan,
dan membangun imaji-imaji positif tentang kehidupan dan bumi yang mereka huni.
Itu pesona pertama yang mengantar saya ke Sekolah Alam!!!

Persepsi kita tentang kehidupan, tentang dunia, tentang bumi yang kita huni,
yang kelak melandasi sikap-sikap kita dalam menjalani hidup, sesungguhnya
terbentuk di masa awal pertumbuhan itu. Seperti apa kita mempersepsi kehidupan,
dunia dan bumi yang kita huni pada awal kehidupan kita, seperti itulah kita
akan menjalaninya. Imaji-imaji positif akan melahirkan energi, semangat dan
gairah kehidupan. Begitu juga sebaliknya. Maka setiap "luka persepsi"
pada masa itu, kelak akan mewariskan "luka emosi" dalam kehidupan
kita. Dan setiap luka emosi, kelak akan mewariskan "gangguan
pensikapan" dalam keseluruhan kepribadian kita. Itu sebabnya anak-anak
yang bahagia di masa kecil jauh lebih berpeluang untuk berbahagia di masa
dewasa dan tuanya kelak.

Saya hanya ingin anak-anak saya menikmati masa-masa awal "perkenalan"
mereka dengan kehidupan, dunia dan bumi yang mereka huni. Mereka tidak
dilahirkan untuk memikul obsesi-obsesi saya sebagai orang tua. Mereka
dilahirkan untuk kehidupan mereka sendiri. Tugas saya adalah memfasilitasi mereka
untuk mengenal dunia dan kehidupan dimana mereka ditakdirkan menjalaninya.
Walaupun mungkin saja mereka mendahului saya menemui ajal, tapi pada galibnya
sayalah yang akan mendahului mereka. Jadi rasanya saya tidak akan menyertai
mereka dalam keseluruhan waktu yang akan mereka lalui di dunia. Maka biarlah
kuantar mereka sampai ke gerbang kehidupan, dan kukatakan pada mereka:
"Inilah kehidupan yang dikaruniakan Allah kepadamu, wahai anak-anakku.
Kalian hanya harus mensyukurinya. Dan itulah alasan mengapa kalian harus
gembira menjalaninya".

Belajar Untuk Menjadi

Dalam miniatur kehidupan yang natural dan riil seperti itu, anak-anak
benar-benar dipandang sebagai manusia seutuhnya. Bukan sekedar robot cerdas -
yang harus dijejali dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan - dimana jam-jam
belajar merupakan saat-saat "pengisian" yang mengerikan. Ledakan
informasi di abad ini barangkali membuat banyak orang panik. Sementara
kehidupan yang telah berubah menjadi medankompetisi yang kejam mendorong mereka berpikir, bahwa untuk bisa bertahan hidup anda harus mengetahui segalanya.
Begitulah sekolah-sekolah kita didirikan sebagai tempat menjajakan
"barang-barang" yang bernama ilmu pengetahuan, yang harus
"dimiliki" setiap orang agar bisa bertahan hidup. Maka kita mengagumi
"kecerdasan". Karena itulah mata uang paling bergengsi yang digunakan
membeli "barang-barang" tersebut. Dan belajar adalah proses
transaksinya.

Di sekolah seperti itu anak-anak belajar "menguasai" pelajaran. Bukan
menjadi sesuatu dengan pelajaran tersebut. Makin banyak pelajaran yang dapat
mereka kuasai, makin baik transaksi mereka. Maka kita sekolah-sekolah berburu
anak-anak cerdas, yang dapat melakukan banyak transaksi.
Tapi yang kemudian kita saksikan justru sebuah ironi. Anak-anak itu tidak mengalami
transformasi pembelajaran. Pelajaran matematika, misalnya, tidak serta merta
membuat mereka dapat berpikir logis. Pelajaran sejarah tidak memberi mereka
kesadaran dan emosi akan identitas kolektif. Pelajaran bahasa bahkan tidak
membantu mereka berbahasa dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Belajar adalah proses berubah secara konstan!!!

Pengetahuan bukan barang yang harus kita miliki. Pengetahuan adalah sebuah
fungsi. Ia adalah cahaya yang menerangi ruang kesadaran batin kita. Seperti
umumnya cahaya yang berpendar-pendar di tengah ruang gelap, kita hanya bisa
bergerak secara baik dalam jengkal-jengkal ruang yang dibingkai cahaya. Sebagai
sebuah fungsi kita harus mempelajari semua pengetahuan yang membantu kita
berubah menjadi lebih baik. Belajar adalah proses menggunakan pengetahuan
sebagai penuntun perjalanan mendekati kesempurnaan secara konstan. Belajar
adalah proses menjadi secara konstan. Karena menjadi merupakan proses yang
tidak pernah berakhir, maka belajar adalah satu-satunya proses kehidupan yang
tidak pernah selesai.

Manusia adalah gabungan yang rumit antara ruh, emosi, akal dan fisik. Setiap
aspek itu, kata Muhammad Quthub, seperti senar gitar yang harus dipetik bersama
untuk melahirkan simfoni kepribadian yang utuh dan indah. Anak-anak bukan
tabung besar yang harus diisi dengan pengetahuan. Mereka adalah senyawa
kehidupan yang rumit dan kompleks. Mereka berubah, berbentuk dan
bermetamorfosis melalui proses-proses yang juga kompleks, dimana pengetahuan
hanyalah salah satu aspeknya.

Dalam konteks itu, maka semua pengetahuan yang mereka butuhkan untuk membangun
kehidupan yang lebih baik harus mereka pelajari. Sebaliknya, semua pengetahuan
yang tidak mempunyai fungsi spesifik dalam kehidupan riil mereka tidak perlu
mereka pelajari. Jenis pengetahuan terakhir ini, kata Umar Bin Khattab, bukan
aib untuk tidak diketahui. Itu sebabnya Rasulullah saw mengajarkan kita sebuah
doa: "Ya Allah ajari kami apa yang bermanfaat bagi kami, dan beri kami
manfaat dari ilmu yang telah Engkau ajarkan pada kami". Dengan begitu,
pengetahuan bekerja dalam kehidupan mereka, sebagai sumber pencerahan hidup.

Begitulah saya menyaksikan anak-anak saya tumbuh dan berkembang, terus menerus
berubah dan menjadi sesuatu yang lain, bersamaan dengan pertambahan usia
sekolah mereka. Gabungan antara pelajaran kelas, latihan outbound, penelitian
lapangan (outing), market day, dan lainnya, telah memberikan pemahaman dan
kesadaran yang relatif lebih utuh tentang kehidupan, membentuk struktur emosi
dan mentalitas yang lebih stabil, serta membangun sikap-sikap keseharian yang
lebih tercerahkan dari waktu ke waktu.

Apa yang mereka pelajari di kelas terasa begitu dekat kehidupan sehari-hari
mereka. Mereka, misalnya, belajar makna uang dan bagaimana menciptakannya
melalui kegiatan market day. Suatu saat anak sulung saya, Hisan, yang kini
duduk di kelas enam, mendapatkan untung sebesar 9000 rupiah dari hasil menjual
juice dalam acara market day. Dia benar-benar merasa menang.
"Sekarang", katanya, "Ican mulai tahu bagaimana caranya bikin
uang".
Pembelajaran seperti itu tentu saja menghadirkan pengetahuan dalam kehidupan
nyata mereka. Pengetahuan bekerja pada fungsinya: membimbing mereka menjalani
hidup. Itu sebabnya setiap pertambahan pengetahuan melahirkan
perubahan-perubahan baru dalam kehidupan mereka. Mereka menjadi lebih baik.
Mereka menjadi lebih tercerahkan.

Tradisi Ilmiah, Bukan Prestasi Belajar

Sekolah bukanlah lapangan pacuan kuda!!!
Tapi ada sekolah yang dirancang sebagai lapangan pacuan kuda. Disana anak-anak
dipacu untuk mengetahui lebih banyak. Bukan untuk menjadi sesuatu yang lebih
baik. Tapi untuk mengalahkan orang lain. Kemajuan belajar diukur dengan capaian
angka-angka. Bukan dengan perubahan-perubahan mendasar pada cara berpikir,
struktur emosi dan pola sikap.
Di sekolah seperti itu kasta-kasta baru dibangun berdasarkan kecerdasan!!!
Barangkali tidak sepenuhnya salah untuk membagi murid-murid kedalam kelas-kelas
berbeda berdasarkan tingkat kecerdasan. Yang salah adalah tren pembelajaran
yang kita kembangkan. Secara tidak sadar sebenarnya sekolah semacam itu
mengembangkan tren pembelajaran transaksional: anak-anak membayar mahal untuk
mendapatkan guru terbaik, agar bisa menguasai semua pelajaran dan lulus dengan
angka terbaik.
Sekolah semacam itu biasanya melahirkan anak-anak pintar, bukan pembelajar
apalagi ilmuwan. Mereka mempunyai prestasi belajar yang baik. Tapi tidak
memiliki tradisi ilmiah yang kokoh. Kalau kelak mereka mendapatkan gelar doctor,
prestasinya pasti summa cum laude. Tapi disertasi doktornya mungkin
merupakan karya ilmiahnya yang pertama dan terakhir. Secara intelektual mereka
mengalami diskontinyu. Mereka mungkin menduduki banyak jabatan akademik yang
terhormat. Tapi tidak akan pernah punya waktu dan perhatian untuk menggarap
karya ilmiah yang monumental.

Ada beda yang teramat jauh antara tradisi ilmiah dan prestasi belajar. Prestasi belajar yang
biasanya diukur secara kuantitatif melalui ujian, bukanlah indikator
terbentuknya tradisi ilmiah. Tradisi ilmiah diukur melalui sikap seseorang terhadap
pembelajaran, pengembangan intelektual berkesinambungan, penggunaan cara
berpikir ilmiah dalam penyelesaian masalah, pembentukan keterampilan
intelektual seperti bahasa oral dan tulisan, aktualisasi intelektual
berkesinambungan, dorongan berkarya yang konstan.
Tren inilah yang hendak dibangun di Sekolah Alam. Sekolah ini menghapus sistem
rangking, yang bukan saja memicu pembentukan kasta baru berdasarkan kecerdasan,
tapi juga memandang potensi setiap siswa secara sama dan mengabaikan keunikan
dan diferensiasi individual pada bakat, minat dan intelejensi. Disini siswa
dipacu untuk tumbuh maksimal pada pusat keunggulan intelejensinya, yang menyatu
bersama bakat dan minatnya. Tidak ada persaingan antar siswa yang dilakukan
dengan standar yang sama. Sebab tujuan pembelajarannya membangun tradisi
ilmiahnya, bukan sekedar memicu prestasi belajar. Siswa-siswa itu bukan peserta
lomba pacuan kuda. Mereka dididik untuk menjadi pembelajar yang optimal dalam
pembelajarannya.

Pendidikan Untuk Zaman
Yang Berubah

Waktu adalah variabel lain. Persepsi kita tentang waktu mempengaruhi pola didik
kita. Kita tidak mendidik anak-anak kita untuk hidup pada zaman yang telah kita
lalui atau yang telah dilalui orang lain atau peradaban lain. Mereka memiliki
zamannya sendiri. Pendidikan bertujuan menyiapkan mereka untuk menghadapi zaman
mereka sendiri.

Anak-anak kita hidup pada sebuah zaman dimana pengetahuan berkembang pesat dan
merubah sendi-sendi kehidupan kita secara fundamental dan sangat cepat. Durasi
perubahan-perubahan besar dalam kehidupan kita berlangsung kilat, karena
faktor-faktor perubahnya bekerja simultan dan cepat. Ini menimbulkan kegamangan
dan disorientasi dalam dunia pendidikan.

Faktanya adalah kita tidak punya kendali atas zaman yang kelak akan dilalui
anak-anak kita kelak. Kita tidak punya kendali atas perubahan-perubahan itu.
Mungkin sekali kita bahkan sudah tidak ada ketika mereka mengalami
perubahan-perubahan besar itu. Tapi adalah juga fakta bahwa semakin cepat dan
sering suatu perubahan terjadi, semakin kita membutuhkan pegangan hidup yang
bersifat permanen, yang tidak ikut berubah dalam perubahan-perubahan itu.
Jadi yang dibutuhkan anak-anak kita adalah pegangan permanen itu. Yaitu
keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai agama. Agama mengajarkan mereka
hakikat-hakikat besar dalam kehidupan mereka: tentang asal usul mereka, tentang
tujuan hidup mereka, tentang nilai-nilai yang harus membimbing hidup mereka,
tentang faktor-faktor permanen yang membentuk kualitas hidup mereka, yaitu
penerimaan Allah, manfaat sosial dan pertumbuhan berkesinambungan.
Apabila mereka belajar tentang itu semua dengan benar, mereka tumbuh pada pusat
kehidupan yang benar dan pasti. Tapi itu saja tidak cukup. Mereka juga
membutuhkan beberapa keterampilan dasar yang diperlukan untuk bertahan dan
bertumbuh pada semua situasi. Sebagiannya merupakan keterampilan intelektual,
sebagiannya lagi merupakan keterampilan emosional, sebagiannya lagi merupakan
keterampilan fisik.

Sisanya biarlah mereka yang memperlajarinya sendiri!!
Itu yang dikembangkan Sekolah Alam. Membangun kemampuan-kemampuan dasar pada
anak yang membuatnya proaktif dan adaptif terhadap perubahan-perubahan
lingkungan. Kemampuan berpikir logis misalnya. Jika seorang anak mampu berpikir
logis, itu mungkin lebih penting ketimbang sekedar mendapatkan angka tinggi
dalam pelajaran matematika. Sebab kemampuan itu yang memberika kekuatan
"mencerna" masalah-masalah hidupnya. Begitu juga latihan outbound.
Disini mereka melatih keberanian, kesabaran, keuletan, kerjasama tim, kepemimpinan.
Latihan ini membangun struktur mentalitas mereka secara kuat yang membuat
mereka tahan terhadap goncangan-goncangan hidup.
Eskperimen Yang Belum
Selesai

Namun tetap saja perlu dicatat: Sekolah Alam adalah eksperimen yang belum
selesai. Usia sekolah ini masih terlalu muda. Selain itu, jangan mengharap
anak-anak kita jadi sempurna di usia 12 tahun ketika ia menamatkan sekolah
dasarnya. Tapi itu memang tabiat dunia pendidikan: dunia eksperimentasi tanpa
henti. Disanalah proses kreatifnya berlangsung. Karena lingkungan strategis
terus berubah, maka eksperimen-eksperimennya perlu dikembangkan terus menerus.
Yang penting adalah apresiasi yang kita berikan terhadap setiap eksperimen
baru. Dan buku (Sekolah Impian) yang sekarang hadir di hadapan pembaca ini
adalah sebentuk apresiasi terhadap eksperimen yang belum selesai itu. Buku ini
merupakan catatan kesan dari semua orang yang terlibat dalam eksperimen
tersebut.
Ada
penginisiatif awal, pimpinan lembaga, guru dan orang tua murid. Dengan mengangkat
berbagai aspek dari proses pembelajaran di Sekolah Alam, buku ini bertujuan
mengangkat eksperimen-eksperimen pendidikan Sekolah Alam sebagai sebuah
diskursus pendidikan.

Eksperimen-eksperimen itu tidak harus benar. Tapi pahala memulainya telah diraih,
sekarang tinggal merebut pahala perbaikan dan penyempurnaannya. Apa yang
penting dalam sebuah eksperimen bukanlah hasilnya. Tapi bibit yang ditanam
dalam eksperimen itulah yang kelak akan berbuah: niat baik, kerja keras, obsesi
kesempurnaan, kelapangan dada menerima kritik dan kerendahan hati merima
pujian, tidak cepat puas dengan keberhasilan-keberhasilan kecil, serta anggapan
yang tidak pernah hilang bahwa semua sukses dalam eksperimen ini semata-mata
merupakan rahmat Allah, bukan karena kehebatan kita.
Semoga Allah menerima amal-amal kita, memaafkan kelalaian-kelalaian kita, dan
menyempurnakan kekurangan-kekurangan kita. Semoga keterlibatan kita dalam dunia
pendidikan ini, dalam posisi sebagai apapun, menjadi amal unggulan yang akan
mengantar kita meraih ridha Allah dan surga-Nya kelak. Amin.
Jakarta, 22
September 2003

Anis Matta
Share this article :

Posting Komentar

MENU LASKAR PENA SUKOWATI

KAPAL MAINAN

KAPAL MAINAN
PEMESANAN 081364021104
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Laskar Pena Sukowati - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger